Nama Titiek Puspa sudah melekat erat sebagai legenda musik Indonesia. Tapi nggak banyak yang tahu, perjalanan panjangnya di dunia seni ternyata dimulai dari kisah yang penuh lika-liku, bahkan sejak masih kecil.
Lahir di Tanjung, Kalimantan Selatan, pada 1 November 1937, Titiek kecil awalnya bernama Sudawarti. Karena sering sakit, namanya sempat diubah jadi Kadarwati, lalu Sumarti. Sejak kecil, Sumarti sudah menunjukkan bakat luar biasa di bidang tarik suara. Ia langganan juara lomba nyanyi, tapi... orang tuanya nggak mendukung sama sekali.
Dalam buku "Titiek Puspa A Legendary Diva" karya Alberthiene Endah, diceritakan bahwa sang ayah, Tugeno Puspowidjojo, lebih ingin anaknya jadi guru taman kanak-kanak, bukan penyanyi. Tapi Titiek kecil punya tekad yang kuat. Demi tetap bisa bernyanyi, ia memakai nama samaran Titiek Puspa, gabungan nama panggilan dan unsur nama ayahnya, “Puspa” yang berarti bunga. Nama ini akhirnya jadi identitas legendarisnya.
Sejak remaja, Titiek udah naksir berat sama dunia musik. Sosok Bing Slamet jadi inspirasi sekaligus alasan kenapa ia makin jatuh cinta sama dunia tarik suara. Tahun 1945, saat masih SMP, dia ikut ajang Bintang Radio di Jawa Tengah dan sukses meraih juara dua. Lanjut ke tingkat nasional di Jakarta, tapi belum menang. Titiek nggak menyerah—14 tahun kemudian, pada 1959, dia kembali ikut lomba serupa dan boom—kali ini dia jadi juara!
Tahun itu juga, Titiek memutuskan pindah ke Jakarta. Di sinilah kariernya benar-benar melejit. Dia muncul di berbagai siaran musik, termasuk di RRI. Di usia 17 tahun, dia gabung dengan band Pandana pimpinan Carry Rijanto dan mulai rekaman. Karier profesionalnya dimulai.
Tahun 1963, lagu "Papaja Cha-Cha" jadi salah satu hits terbesarnya dan langsung mengangkat namanya. Lagu-lagu ciptaannya terus bermunculan dan masih didengar sampai sekarang. Generasi baru pun banyak yang mendaur ulang karyanya—sebut saja Kupu-Kupu Malam, Apanya Dong, Bing, Marilah Kemari, sampai Menabung dan Bimbi.
Suara merdu dan karismanya bikin semua orang terpikat. Bahkan suara Titiek sampai ke Istana Negara. Akhir 1960-an, ia diundang Presiden Soekarno untuk tampil menghibur tamu negara. Sejak saat itu, sepanjang masa pemerintahan dari Soekarno sampai Prabowo, Titiek selalu aktif di dunia hiburan dan kegiatan budaya.
Nggak cuma penyanyi, Titiek juga jago bikin operet! Karyanya seperti Bawang Merah Bawang Putih, Kartini Manusiawi, dan Ketupat Lebaran pernah tayang di TVRI dan disukai banyak orang. Bahkan di usia senja, dia sempat main film Ini Kisah Tiga Dara (2016) dan dapat nominasi di Piala Maya berkat aktingnya sebagai Oma.
Titiek juga terkenal dengan kepribadiannya yang ramah, penuh energi positif, dan sangat dekat dengan penggemar. Gayanya juga selalu stylish, up to date, dan elegan—meski usianya nggak lagi muda. Ia bukti bahwa jiwa muda nggak harus berhenti saat usia bertambah.
Sayangnya, di tengah aktivitasnya yang padat, Titiek sempat didiagnosis kanker serviks tahun 2009 saat berusia 72 tahun. Ia menjalani pengobatan di Singapura dan sempat pulih. Namun, pada awal April 2025, ia terkena serangan stroke saat syuting acara TV. Pendarahan otak membuatnya harus menjalani operasi besar. Titiek akhirnya mengembuskan napas terakhir di RS Medistra, Jakarta, pada Rabu, 10 April 2025, dalam usia 87 tahun.
Kabar kepergiannya bikin Indonesia berduka. Presiden dari berbagai generasi—SBY, Jokowi, hingga Presiden saat ini, Prabowo—datang melayat langsung ke rumah duka. Sosok Titiek memang begitu berharga bagi dunia seni dan budaya Tanah Air.
Ia dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Jumat (11/4). Sejak siang, ratusan pelayat memadati lokasi. Fans lama dan baru datang untuk mengantar “bunga abadi” musik Indonesia itu ke peristirahatan terakhirnya.
Sejumlah artis dan tokoh juga hadir—mulai dari Vina Panduwinata, Slamet Rahardjo, Dewi Motik, hingga Inul Daratista dan Adam Suseno. Jenazah tiba sekitar pukul 13.30 WIB, disambut isak haru dari orang-orang yang mencintainya.
Titiek Puspa mungkin sudah tiada, tapi warisan seninya akan terus hidup. Ia bukan hanya legenda, tapi juga inspirasi yang akan selalu dikenang lintas generasi.
Social Footer