Oleh: Ust. Adi Tahir Nugraha, M.Ag
Kata takwa ini sangat populer di kehidupan kita. Masuk ke semua lini sosial. Mulai dari anak kecil hingga dewasa pernah mendengar kata ini. Banyak juga di antara para penceramah yang mengajak masyarakat untuk mengerjakan ketakwaan. Apalagi di bulan Ramadhan, kata takwa ini menjadi begitu renyah diperdengarkan dalam pelbagai kesempatan; baik dalam pengajian ataupun dalam tongkrongan-tongkrongan anak muda misalnya.
Lalu apakah persepsi kita sudah memadai dalam memaknai takwa? Apakah hanya sebatas pengetahuan tentang menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah? Lalu bagaimana dengan realitasnya? Tulisan sederhana ini akan mengungkap sederhana apa yang dimaksud dengan kata takwa, terutama yang dipotret dalam al-Qur’an.
Takwa artinya adalah wiqayah (memelihara, menjaga), menurut Ar-Razy takwa memiliki arti khasyyah (rasa takut) seperti dalam firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 1:
يٰۤـاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوۡا رَبَّكُمُ
Wahai manusia takutlah kalian kepada Tuhan kalian….
Selain itu takwa juga sering diartikan taat, hati-hati, waspada yang muaranya adalah pengabdian kepada Allah. Jika demikian, maka takwa dapat diartikan bentuk ketaatan seseorang yang melahirkan sikap kehati-hatian dalam memelihara dan menjaga diri dari sesuatu yang membahayakan dirinya dengan cara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan.
Muhammad Al-Buzy menggambarkan pengertian takwa secara holistik yakni takwa adalah rasa takut orang yang beriman kepada Tuhannya yang didasari oleh ilmu, senantiasa tetap dalam ketaatan kepada-Nya, dengan mengerjakan kewajiban dan pekerjaan yang dapat mendekatkan kepada-Nya, serta menjauhi larangan-Nya dengan mengharap pahala dan keselamatan.
Merujuk pada pengertian tersebut, maka setidaknya takwa dibangun dengan beberapa unsur, yaitu: rasa takut, iman, ilmu, taat, dan tujuan mengharap ridla Allah.
Dalam Al-Baqarah ayat 183 perintah shaum diawali dengan panggilan kepada orang yang beriman, ini menunjukkan bahwa iman menjadi dasar dalam melakukan amalan untuk mencapai pada derajat takwa, sementara itu informasi selanjutnya adalah shaum yang diperintahkan sejatinya telah diperintahkan juga kepada umat terdahulu.
Itu menjadi petunjuk bahwa mesti ada pengetahuan atau ilmu yang dapat sampai pada peristiwa masa lalu atau sejarah, kemudian perintah yang sama yaitu shaum kepada umat nabi Muhammad juga kepada umat terdahulu ini merupakan konsistensi ketaatan dalam melaksanakan perintah kepada Allah dengan ekspektasi mencapai derajat takwa, bagian dari eskpresi khasyyah dari adzab Allah.
Wallahu A’lam
Social Footer