Oleh: Ust. Adi Tahir Nugraha, M.Ag
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa permulaan ayat tentang shaum dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 diawali dengan menyeru orang yang beriman, sementara itu karakter orang beriman di dalam hadis disepertikan dengan lebah.
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنَّ مَثَلَ الْمُؤْمِنِ لَكَمَثَلِ النَّحْلَةِ أَكَلَتْ طَيِّبًا وَوَضَعَتْ طَيِّبًا وَوَقَعَتْ فَلَمْ تَكْسِر ولم تُفْسِد
Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya perumpamaan mukmin itu bagaikan lebah yang selalu memakan yang baik dan mengeluarkan yang baik. Ia hinggap (di ranting) namun tidak membuatnya patah dan rusak.” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir)
Dalam hadis lain disebutkan:
مَثَل المؤمن مَثَل النحلة، لا تأكُلُ إلا طيِّبًا، ولا تضَعُ إلا طيِّبًا
’’Perumpamaan seorang Mukmin bagaikan lebah, ia tidak makan kecuali yang baik dan tidak memberi kecuali yang baik.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dalam hadis-hadis di atas digambarkan bahwa lebah itu apa yang dikonsumsi, yang dikeluarkan, hingga ia berada di sebuah tempat semuanya menghasilkan manfaat, tidak merusak.
Lebah mengajari kita untuk selektif dalam mengambil sesuatu, menghasilkan sesuatu harus bermanfaat, dan ketika kita hidup di satu tempat harus memberikan dampak positif.
Sebagaima dalam shaum, kita diharuskan imsak dari perbuatan yang membatalkan shaum, dari perbuatan dosa yang menyebabkan kesia-siaan shaum kita.
Lebah ataupun shaum keduanya sama-sama mengajarkan selektifitas, produktifitas, dan kualitas.
Sudah seharusnya orang beriman selektif dalam konsumsi perut, pikiran, budaya, tradisi, ibadah, dan yang lainnya, selain itu orang yang beriman mesti juga produktif dalam mendistribusikan kebermanfaatan kepada yang lain, juga sekaligus memiliki kualitas yang dapat memberi ketenteraman, kenyamanan, kebahagiaan hidup bagi yang lain.
Wallahu A’lam
Social Footer