Kekerasan dalam rumah tangga atau biasa disingkat KDRT adalah tindakan di mana salah satu pihak dalam rumah tangga menyakiti pasangannya. Umumnya, pelaku adalah suami dan korban adalah istrinya. Secara pemahaman manusia berakal, jelas tindakan ini merupakan tindakan salah dan menyimpang. Rumah tangga yang seharusnya penuh cinta dan kasih, tempat paling aman dan nyaman untuk berteduh, malah menjadi neraka penuh hukuman tak berdasar. Yang seharusnya menjadi tempat berpulang yang paling dinanti, malah menjadi trauma dan luka pertama bagi anggota keluarganya.
Sang suami sebagai pelaku KDRT menjelaskan, “Pukulan itu harus dilayangkan ketika istri mulai tidak manut. Kalau mereka terbiasa membangkang, saya susah mengendalikannya!” Maka dipukul-lah sang istri sampai lebam mukanya, dilemparnya lauk pauk yang dihidangkan dengan penuh kasih itu ke lantai, memecahkan piring berserta perabotan lain yang bisa digapainya. Pasalnya, sang istri meminta uang bulanannya dilebihkan. Benar-benar istri yang kurang bersyukur, tiga ratus ribu untuk sebulan itu sudah besar dan harusnya ia bisa mengelolanya dengan lebih baik! Berhematlah! Jangan banyak jajan apalagi memanjakan anak. Kita ingin kaya, kita ingin beli mobil. Maka, kita harus berhemat. Istrinya yang berani mematahkan harapannya itu jelas pantas untuk dihajar dan dipermalukan di depan anaknya. Biar jadi pelajaran. Biar tidak jadi kebiasaan. Tabiatnya itu perlu didisiplinkan, pukulan adalah hukuman yang setara.
Kalau saja suaminya tahu bahwa perut istrinya belum terisi dari kemarin malam. Minimnya uang belanja membuat istrinya harus memutar otak untuk bisa memberi makan yang terkasih ketika mereka pulang ke rumah. Anaknya akan pulang dengan ceria, jelas butuh makan agar bisa tetap enerjik dan membahagiakan. Sang suami harus dihidangkan makanannya dengan suhu yang hangat. Delapan jam berkutat dengan pekerjaan sudah melelahkan, istrinya menunaikan bakti dengan melayaninya di rumah. Bagaimana dengan dirinya sendiri? Yah, dia bisa berpuasa. Ia berpuasa dengan niat supaya urusan suaminya selalu dilancarkan, apapun yang suaminya tuju. Walaupun sebenarnya itu hanyalah alibi, uang yang tersisa tidak cukup kalau ia ikut makan juga. Tidak apa-apa, ia bisa berpuasa. Suami dan anaknya harus kenyang.
Lama kelamaan, setelah dirasa tidak kuat lagi harus menahan lapar dan melihat banyaknya kebutuhan-kebutuhan baru yang muncul, diberanikannya untuk berbincang dengan sang kepala keluarga. Lembut nada bicaranya, tertata pula bahasa yang dikeluarkan—meskipun stress, ia tidak mau suaminya menjadi terbebani; meskipun itu adalah bare minimum. Tapi tiba-tiba pipinya lebam akibat pukulan yang dihantamkan lelaki yang seharusnya menjadi imamnya itu. Dihajar habis-habisan dan diawurkan semua jerih payah untuk menyenangkan suami. Dari pagi sampai siang, mengolah bahan makanan menjadi sebuah masakan yang bernutrisi untuk menjaga keluarganya agar tetap sehat, dibalik rasa lelah dan kantuk yang ditahannya setiap hari, dibayar kontan dengan kekerasan yang tidak pernah terbayang oleh sang istri sebelumnya. Pada akhirnya dia harus menyimpan semuanya, berusaha tegar kembali dengan perut yang masih kelaparan dan kepala yang pusing tak tertahan. Sang istri tetap bangun lebih dulu dari yang lain, dan tidur paling akhir. Ia tetap menjalankan kewajibannya, meskipun memar wajahnya, berdarah kaki tangannya, dan kelaparan perutnya. Ia harus terbiasa ikhlas. Demi anaknya.
Demi anaknya.
Demi anaknya?
Anaknya? Ada. Dia ada di pojok ruangan. Ingin memamerkan karya buatannya di mana ada Ayah, Ibu dan dirinya di dalam kertas dengan olesan krayon di sana; cerah dan berwarna-warni. Langkahnya terhenti dan niatnya diurungkan ketika sang Ayah terlihat memukuli Ibunya yang tak berdaya.
Apa artinya itu?
Bukankah bertengkar adalah hal yang dilarang?
Anaknya merenung dan tidak bisa tidur dibayang-bayangi mimpi buruk tersebut. Benak kecilnya mulai mempertanyakan tindakan dari sang Ayah yang menyeleweng dari tugasnya yang seharusnya. Apa tindakan itu diperbolehkan? Apakah Ibu nakal? Kenapa harus dipukul?
Hari demi hari pertanyaan-pertanyaannya tetap tidak terjawab, namun pandangannya mulai terbiasa.
Mungkin, itu cara Ayah tunjukkan kasih sayangnya.
Maka dia akan tumbuh menjadi individu yang mencari kenyamanan dalam tindak kekerasan. Mentalnya yang rusak dan terbiasa dengan sumpah serapah dan kekerasan fisik akan membuatnya menjadi orang yang tidak tenang. Pemandangan akan kekerasan rumah tangga yang Ayahnya lakukan, akan selalu menjadi memori yang muncul ketika benaknya tak sadar.
Maka, masihkah ada alasan untuk membenarkan KDRT?
Jika ada, apakah.. kamu adalah iblis yang menyerupai manusia? Pura-pura punya akal?
***
Penulis: Carisa Adinda Puteri
Social Footer