Berita Trending

Liora

 


Liora, seorang gadis dengan nama yang indah. Artinya... cahaya. Tapi dirinya tak pernah merasakan bercahaya. Selalu duduk di barisan pojok. Ia bukan siluet, tetapi juga bukan cahaya. Keberadaannya ada, namun jarang dirasakan. Teman-temannya mengingat namanya hanya ketika ada sesuatu yang membutuhkan tangannya, Seolah-olah Liora lebih mirip rekreatif ketimbang seorang teman.

Ia pernah menggambar wajah seorang gadis. Gadis itu tanpa mulut, hanya mata redup yang dikelilingi cahaya kosong palsu. Tangannya bergerak tanpa suara, hanya terdengar gemerisik corat-coret kertas.
“ujung kertas tertulis: aku cahaya, siapa yang pernah melihatku bersinar?”

Hari saat lomba seni diumumkan, semua wajah sontak tertuju pada gadis itu. Tatapan penuh harap, bayangan kemenangan, senyum manis yang menyimpan getir, serta janji-janji yang meluncur begitu saja. Mereka berbondong-bondong mendekatinya karena pikiran yang ingin memanfaatkan.

Semua bergantung padanya.
Selalu tangannya.
Dan selalu menunggunya.

Liora menunduk. Pensil di tangannya gemetar, meninggalkan garis-garis samar di atas kertas. Telapak tangannya lembab, ibarat keringat ikut menyerap ke dalam kayu pensil yang ia genggam dengan keras. Dari sketsa itu, perlahan muncul wajah tanpa ekspresi—sebuah siluet yang entah milik orang lain atau dirinya sendiri. Ia berhenti sejenak, menatap hasilnya dengan bingung, hatinya terguncang untuk siapa sebenarnya gambar itu diciptakan: untuk dirinya, atau untuk tatapan yang diam-diam mengintainya dari belakang?

Ia tidak lagi tahu apakah karyanya lahir untuk dirinya sendiri atau kembali untuk orang-orang yang hanya mengingatnya saat ada kepentingan. Di sekelilingnya, siluet mereka tetap berdiri, menunggu cahaya yang bahkan tak pernah benar-benar mereka pahami. 

“Kenapa harus aku lagi…?” batinnya, tapi tangannya tetap menari di atas kertas.

Pensil di tangannya bergetar. Telapak tangannya basah. Wajah kosong itu mulai muncul di kertas—seperti kemarin, seperti hari-hari sebelumnya. Seakan tanpa alasan yang pasti, ia merasa semua ini baru saja dimulai.

“ujung kertas tertulis: aku cahaya, siapa yang pernah melihatku bersinar?”

Tulisan itu tampak sama seperti sebelumnya. Hanya saja kini, ia tak sepenuhnya yakin lagi apakah cahaya memang pernah ada?

 

Penulis:  Muqita Nurul Muttaqien (Santri Kelas XI.3 MA Al-Huda Pameungpeuk)

Type and hit Enter to search

Close