Agak iri rasanya ketika melihat orang lain bersikap romantis kepada seseorang, atau saat mereka memasang foto orang yang spesial dalam hidupnya. Aku sering mendengar cerita teman-temanku tentang kisah mereka masing-masing. Semuanya terdengar indah. Wajar jika aku pun menginginkan hal seperti itu.
Saat mengingatnya, rasanya ingin selalu tersenyum. Itu sesuatu yang indah, meski tanpa banyak kata, tanpa banyak obrolan, tanpa janji-janji besar. Semuanya berjalan dalam diam. Ya, aku pernah memiliki kisah yang indah, meski berbeda dengan orang lain. Jika mereka lebih memilih untuk maju, aku justru memilih berhenti sejenak, lalu bertanya pada diri sendiri: “Apa yang sebaiknya aku lakukan?”
Berbeda dengan kebanyakan orang, aku memilih diam. Aku ingin memiliki kisah seperti mereka, tetapi aku sadar itu bukan pilihan terbaik. Dia dibesarkan oleh keluarga yang hebat. Dia dididik untuk menjadi hebat. Aku tidak boleh merusaknya. Aku tidak boleh membawanya ke jalan yang salah. Itu yang terbaik untuknya, dan juga untukku.
Aku belajar banyak dari kebaikan hatinya. Tanpa dia, aku mungkin tidak akan menjadi pribadi seperti sekarang. “Paman, engkau telah berhasil mendidik anakmu menjadi pribadi yang hebat. Dia mampu mengubah seseorang yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Dia menjadikan seseorang lebih baik.”
Darinya aku belajar, bahwa jika perasaan itu tulus, ia tidak selalu harus disampaikan. Kadang cukup didoakan. Doa adalah bentuk paling tulus, karena hadir tanpa diminta. Menarik rasanya jika suatu hari waktu mempertemukan kami kembali. Aku berharap, saat itu aku sudah menjadi pribadi yang jauh lebih baik dibanding ketika pertama kali bertemu dengannya.
Mungkin aku tidak akan banyak bicara. Aku akan tetap diam, membiarkan mataku yang berbicara dengan jujur. Seperti kata Jalaluddin Rumi, “Aku memilih mencintaimu dalam diam, karena dalam diam tidak ada penolakan.”
Akhirnya, aku memilih untuk berbeda. Meski terkadang masih terasa iri ketika melihat orang lain bahagia dengan kisahnya, aku sadar bahwa aku berhadapan dengan perempuan yang berbeda. Maka, sudah sepatutnya aku menjaganya, memberinya ruang untuk berkembang, bukan merusaknya dengan hal-hal yang dianggap lumrah di zaman sekarang. []
Penulis: Mohammad Fardan kurnia (Santri Kelas X.5 MA Al-Huda Pameungpeuk)
Social Footer