Berita Trending

Antara Hiburan dan Pelecehan: Analisis Psikologi Komunikasi terhadap Kasus Trans7 dan Dunia Pesantren

 

Perdebatan publik kembali menghangat setelah salah satu tayangan Trans7 dinilai menyinggung kehidupan pesantren dan santri. Potongan adegan yang beredar luas di media sosial memicu kecaman dari sejumlah kalangan, termasuk pengurus Nahdlatul Ulama (NU), karena dianggap merendahkan lembaga pendidikan keagamaan. Di sisi lain, sebagian pihak menilai bahwa tayangan tersebut hanyalah bentuk hiburan dan tidak perlu ditanggapi berlebihan.

Kasus ini menjadi menarik untuk ditinjau dari perspektif psikologi komunikasi, karena mempertemukan dua kepentingan besar yaitu kebebasan berekspresi media dan sensitivitas sosial keagamaan.

Humor di media massa memiliki fungsi sosial penting: mencairkan suasana, menghibur, dan menjadi sarana refleksi terhadap realitas. Namun, humor juga memiliki potensi menimbulkan salah tafsir jika menyentuh ranah identitas kelompok tertentu.

Menurut Littlejohn dan Foss (2017), komunikasi humor yang efektif bergantung pada konteks budaya dan persepsi audiens. Apa yang dianggap lucu oleh satu kelompok, bisa jadi dianggap melecehkan oleh kelompok lain. Dalam kasus Trans7, masalah muncul bukan semata pada niat pembuat program, tetapi pada efek psikologis yang ditimbulkan pada sebagian masyarakat yang merasa direpresentasikan secara keliru.

Pesantren bukan sekadar institusi pendidikan agama, tetapi juga simbol identitas sosial dan moral bangsa. Dalam psikologi sosial, identitas kelompok seperti pesantren membentuk rasa kebersamaan yang kuat. Ketika simbol identitas ini digambarkan secara negatif di media, timbul potensi disonansi kognitif ketegangan antara pandangan positif terhadap diri sendiri dan persepsi negatif dari luar (Baron & Byrne, 2005).

Namun demikian, reaksi emosional publik juga perlu dilihat secara proporsional. Tidak semua humor berniat menghina, sebagian justru berfungsi sebagai kritik sosial atau refleksi terhadap kehidupan masyarakat. Di sinilah pentingnya literasi psikologi komunikasi agar masyarakat dapat menilai pesan media secara lebih bijak.

Media memiliki hak untuk berekspresi, namun juga memikul tanggung jawab sosial. Menurut Mulyana (2019), komunikasi publik yang sehat menuntut keseimbangan antara kreativitas dan empati. Sementara itu, lembaga keagamaan juga diharapkan memberikan ruang dialog, bukan hanya reaksi penolakan.

Trans7 sebagai media nasional sudah sepatutnya menjadikan kritik publik ini sebagai bahan evaluasi agar konten ke depan lebih sensitif terhadap nilai budaya dan keagamaan. Di sisi lain, masyarakat juga perlu memahami dinamika produksi tayangan bahwa tidak semua pesan di media memiliki intensi untuk merendahkan.

Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa komunikasi publik tidak hanya berbicara tentang pesan, tetapi juga tentang dampak psikologis di masyarakat. Dengan meningkatnya literasi media, masyarakat dapat memilah antara hiburan yang pantas dan konten yang melanggar batas etika.

Sementara bagi pelaku media, empati harus menjadi bagian dari proses kreatif. Humor yang cerdas dapat menghibur sekaligus mendidik tanpa menyinggung. Ketika kedua sisi media dan publik saling memahami, maka ruang komunikasi yang sehat akan terbentuk.

Kasus Trans7 dan pesantren seharusnya tidak menjadi ajang saling menyalahkan, melainkan titik temu untuk memperbaiki pola komunikasi antara media dan masyarakat. Dalam perspektif psikologi komunikasi, inti persoalannya bukan pada siapa yang salah, tetapi bagaimana pesan bisa diterima dengan makna yang tepat.

Hiburan dan penghormatan terhadap nilai sosial tidak harus bertentangan. Keduanya bisa berjalan beriringan selama ada empati, dialog, dan tanggung jawab bersama. []

 

Penulis: Nandika Budi Prasetya 


Type and hit Enter to search

Close