Setiap kali Ramadan atau Idulfitri tiba, pertanyaan yang sama selalu muncul di benak masyarakat Indonesia: “Apakah besok sudah mulai puasa?.” Ada yang menunggu keputusan pemerintah, ada pula yang mengikuti aturan tertentu. Ada yang sudah sahur, ada pula yang masih sarapan. Namun, sebenarnya semua orang mencari hal yang sama: penetapan awal kalender Hijriah, yang menandai dimulainya periode keagamaan.
Fenomena ini sering dianggap bertentangan. Namun, jika dicermati lebih lanjut, kita akan melihat bahwa di sinilah harmonisasi sains dan agama paling nyata di Indonesia. Kedua pendekatan, rukyat (pengamatan bulan sabit) dan hisab (perhitungan astronomi), keduanya berusaha menemukan “bulan” yang sama, meskipun menggunakan metode yang berbeda.
Hilal dan Hisab: Dua Metode, Satu Tujuan
Dalam tradisi Islam, penentuan awal bulan hijriah dilakukan melalui dua metode:
a. Rukyat (Mengamati Hilal Secara Langsung)
Rukyat dilakukan dengan cara melihat bulan sabit pertama (hilal) setelah matahari terbenam. Metode ini berlandaskan langsung pada perintah Rasulullah SAW yang bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ
شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
"Berpuasalah
kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika
kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi
tiga puluh hari."
(HR. Bukhari No. 1776)
Metode rukyat pada dasarnya mengajak kita untuk mengamati tanda-tanda kebesaran Allah SWT di langit. Namun, kini metode ini tidak hanya mengandalkan mata telanjang, tetapi juga menggunakan teleskop, kamera CCD, dan instrumen astronomi modern lainnya, sehingga tetap relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan terkini.
b. Hisab (Menghitung Posisi Bulan dengan Astronomi)
Hisab adalah metode penentuan awal bulan dengan menghitung posisi matahari dan bulan menggunakan ilmu astronomi. Data seperti tinggi bulan, jaraknya dari matahari, dan posisinya di langit digunakan untuk memperkirakan kapan bulan sabit dapat terlihat. Metode ini menunjukkan bahwa akal manusia dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah melalui hukum-hukum alam.
Jadi, hisab dan ruqyah sebenarnya tidak saling bertentangan. Keduanya merupakan bagian dari tradisi ilmiah Islam, sejak zaman Ibnu Yunus dan Al-Battani hingga saat ini.
Barbour dan Hubungan Sains-Agama: Apa yang Terjadi pada Kasus Hilal vs Hisab?
Ian G. Barbour menawarkan empat model hubungan antara sains dan agama:
a. Model Konflik
Hal ini terjadi ketika salah satu pihak menganggap suatu metode “tidak Islami”. Namun realitanya, umat Islam di Indonesia tidak sedang berkonflik, hanya memiliki metodologi yang berbeda.
b. Model Independen
Sains dan agama berjalan sendiri-sendiri. Hal ini terjadi ketika kelompok hisab dan rukyat tidak saling menanggapi.
c. Model Dialog
Keduanya mulai berdiskusi. Astronom berdialog dengan ahli falak, ulama berdiskusi dengan ilmuwan.
d. Model Integrasi
Inilah yang sekarang terjadi di Indonesia, Hisab digunakan untuk memperkirakan, rukyat digunakan untuk memverifikasi. Praktiknya juga terlihat pada perbedaan metode di berbagai pihak, di mana Muhammadiyah cenderung memakai hisab, NU memprioritaskan rukyat, dan pemerintah melalui Kementerian Agama menggabungkan keduanya. Perbedaan antarorganisasi ini bukanlah tanda perpecahan, melainkan menunjukkan kekayaan pemikiran Islam. Kita semua memiliki tujuan yang sama untuk beribadah hanya metodenya saja yang berbeda.
Dengan kata lain, Indonesia telah memasuki fase baru di mana sains dan agama saling menguatkan bukan saling bertentangan.
Belajar Harmoni Sains-Agama dari Langit Senja
Ketika hilal muncul, ia tidak bertanya,
“Apakah engkau melihatnya dengan teleskop atau dengan perhitungan?”
Ia hanya muncul sesuai hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah SWT.
Dengan begitu, sains mengajarkan kita ‘bagaimana’ hilal muncul dan agama mengajarkan kita ‘mengapa’ ia merupakan tanda ibadah.
Keduanya saling melengkapi dan bersama-sama membimbing manusia ke waktu yang tepat untuk beribadah.
Pada akhirnya, entah mereka berpuasa lebih dulu atau menyusul kemudian hari, mereka semua menuju tujuan yang sama: menaati Allah SWT. Persoalan hilal-hisab bukanlah tentang menentukan siapa yang benar, melainkan tentang bagaimana sains dan agama dapat bekerja sama untuk menafsirkan firman Tuhan, baik yang tertulis dalam Al-Qur'an maupun yang terpampang di langit.
Saat mata kita melihat hilal dan akal kita menghitungnya, sebenarnya kita sedang mencari bulan yang sama.
Penulis:
Dwi Siska (Mahasiswa Pendidikan Agama Islam di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan)

Social Footer