Berita Trending

Ketika Retorika Modern Tak Mampu Menandingi Gaya Bahasa Al-Qur’an

 


Di tengah kemajuan teknologi dan arus globalisasi, kemampuan manusia dalam seni bahasa dan retorika telah mencapai puncaknya. Namun, ada satu keajaiban linguistik yang tetap tak tertandingi: Al-Qur’an. Kitab suci ini bukan hanya sekadar teks keagamaan, melainkan juga mukjizat sastra yang hingga kini belum mampu disaingi oleh siapapun, baik oleh para penyair Arab klasik maupun para ahli bahasa modern.

Al-Qur’an turun pada masa ketika bangsa Arab berada pada puncak keemasan dalam bidang sastra dan retorika. Mereka memiliki penyair dan orator yang luar biasa, hingga setiap tahun diadakan kompetisi syair di pasar-pasar besar seperti Ukaz. Namun, ketika Al-Qur’an diturunkan, bahkan para ahli bahasa terbaik pun terdiam kagum. Firman Allah menantang manusia secara langsung: “Dan jika kamu meragukan (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang-orang yang benar” (Q.S. al-Baqarah [2]: 23).

Tantangan ini bukan hanya tantangan retorika biasa, tetapi bukti bahwa bahasa Al-Qur’an memiliki kekuatan yang melampaui logika manusia. Para mufasir seperti al-Raghib al-Ashfahani menjelaskan bahwa keindahan Al-Qur’an terletak pada keseimbangan antara makna dan lafaz—setiap kata memiliki kedalaman makna yang sulit dicapai oleh manusia biasa. 

Hal ini juga ditegaskan oleh al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an (juz 2, hlm. 10) bahwa keindahan Al-Qur’an berasal dari susunan kata yang menakjubkan, ritme yang indah, serta kekuatan makna yang tidak dimiliki oleh karya manusia manapun.

Dalam konteks modern, manusia berupaya meniru keindahan bahasa melalui berbagai bentuk sastra, puisi, dan retorika digital. Di media sosial misalnya, kemampuan menyusun kata menjadi alat persuasi yang luar biasa. Namun, tidak ada satu pun karya manusia yang bisa menghadirkan perpaduan antara estetika, spiritualitas, dan kebenaran hakiki sebagaimana yang dimiliki Al-Qur’an. Inilah bukti i’jaz al-Qur’an—kemukjizatan Al-Qur’an dari segi bahasa dan maknanya.

Bahkan dalam dunia linguistik modern, beberapa orientalis seperti Arthur J. Arberry dalam karyanya The Koran Interpreted mengakui bahwa terjemahan Al-Qur’an tidak mungkin mampu menyalin keindahan aslinya. Struktur ritmis dan keselarasan bunyi di dalam teks Arab Al-Qur’an tidak dapat digantikan oleh bahasa lain. Arberry menyebut bahwa Al-Qur’an adalah “a book that moves the heart beyond the reach of translation.”

Selain itu, gaya bahasa Al-Qur’an mengandung berbagai bentuk keindahan sastra seperti iltifat (peralihan sudut pandang), jinas (permainan bunyi), dan isti’arah (metafora) yang memberikan kedalaman makna di setiap ayat. Keindahan itu tidak hanya menyentuh pikiran, tetapi juga menggugah hati. Misalnya, dalam Q.S. ar-Rahman [55]: 13, Allah berfirman: “Fabiayyi aalaa’i rabbikuma tukadzdzibaan” — kalimat yang diulang berkali-kali untuk menggugah kesadaran manusia terhadap nikmat dan kekuasaan-Nya. Dalam teori linguistik modern, pengulangan semacam ini disebut repetition for emphasis, tetapi dalam Al-Qur’an pengulangannya mengandung nilai spiritual yang jauh lebih dalam.

Keindahan Al-Qur’an bukan hanya soal keunikan bahasanya, melainkan juga relevansi maknanya sepanjang zaman. Ayat-ayatnya tetap hidup dan kontekstual, menjawab persoalan manusia dari masa ke masa. Sementara karya manusia sering kehilangan daya setelah waktu berlalu, Al-Qur’an tetap menjadi sumber inspirasi dan pedoman hidup bagi miliaran umat.

Fenomena ini seharusnya menyadarkan kita bahwa i’jaz al-Qur’an bukan hanya konsep teologis, melainkan juga bukti bahwa wahyu Ilahi melampaui batas rasionalitas manusia. Dalam dunia yang semakin pragmatis dan rasional, keindahan bahasa Al-Qur’an adalah pengingat bahwa ada kekuatan yang lebih tinggi dari sekadar kemampuan berpikir—yakni kekuatan wahyu.

Pada akhirnya, ketika retorika modern sibuk mencari makna dan gaya, Al-Qur’an telah lebih dahulu memadukan keduanya dengan sempurna. Ia bukan hanya berbicara kepada logika, tetapi juga menyentuh jiwa. Dan mungkin, di situlah letak rahasia terbesar dari kemukjizatan bahasa Al-Qur’an—bahwa ia bukan sekadar untuk dibaca, tetapi untuk dirasakan dan dihayati.

Referensi
1. Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Juz 2, hlm. 10.
2. Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Qalam, 1997.
3. Arthur J. Arberry, The Koran Interpreted, London: George Allen & Unwin, 1955.
4. Q.S. al-Baqarah [2]: 23.
5. Q.S. ar-Rahman [55]: 13.
 

Penulis: Muhammad Ade Rizky 

Type and hit Enter to search

Close