Menelaah Penafsiran QS Al-Qiyāmah: 22-23 dalam Tanzih Al-Qur’an an al-Mata’in
Pertanyaan “Bisakah manusia melihat Tuhan?” telah memecah para teolog Islam selama berabad-abad. Ada yang meyakini bahwa orang beriman kelak akan menatap Tuhan secara langsung di akhirat, dan ada pula yang menolak keras gagasan itu karena dianggap bertentangan dengan prinsip ketuhanan. Salah satu ayat yang sering dikutip dalam perdebatan ini adalah firman Allah dalam Surah Al-Qiyāmah ayat 22–23:
وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ ٢٢اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌۚ ٢٣
Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. (karena) memandang Tuhannya.
Kata nāẓirah oleh sebagian kalangan dipahami sebagai “melihat dengan mata kepala”.
Namun Qādī ‘Abd al-Jabbār seorang tokoh besar Mu‘tazilah dan penulis Tanzīh al-Qur’ān ‘an al-Maṭā‘in memberikan pembacaan yang jauh berbeda. Interpretasinya tidak hanya menyentuh soal makna bahasa, tetapi juga masuk ke dasar-dasar teologi: apakah Tuhan berjisim? Apa itu tasybīh? Dan bagaimana hubungan konsep pahala dengan sifat keadilan Tuhan?
Qādī
Artikel ini mengajak Anda menyusuri argumentasi Qādī ‘Abd al-Jabbār dengan gaya yang ringan, terarah, dan mudah dicerna.
Ketika “Melihat Tuhan” Dianggap Bukti Tuhan Berjisim
Qādī ‘Abd al-Jabbār memulai kritiknya dari sebuah premis sederhana namun sangat mendasar, jika seseorang percaya bahwa Tuhan memiliki bentuk fisik (jism), maka perdebatan tentang “melihat Tuhan” seharusnya tidak lagi relevan. Mengapa? Karena dalam pengalaman manusia, segala sesuatu yang memiliki bentuk fisik otomatis berada dalam kategori objek yang bisa dipersepsi oleh indera. Jika Tuhan dianggap berjisim, maka tidak hanya dapat “dilihat”, tetapi juga berpotensi diperlakukan layaknya objek fisik lainnya. Beliau mengilustrasikan hal ini secara retoris, bila Tuhan berbentuk fisik, maka kemungkinan konsekuensinya bukan hanya “melihat”, tetapi juga disentuh, dijabat tangannya, dipeluk, bahkan diraba. Semua ini tidak masuk akal dan bertentangan dengan konsep ketuhanan dalam Islam.
Dengan menampilkan kemungkinan-kemungkinan ekstrem ini, Qādī ‘Abd al-Jabbār ingin menunjukkan absurditas dari gagasan Tuhan sebagai makhluk fisik. Di titik ini, ia menegaskan bahwa anggapan semacam itu termasuk bentuk tasybīh, yaitu menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Padahal prinsip dasar tauhid adalah:
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌۚ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya”
Menurut Qādī ‘Abd al-Jabbār, sebelum seorang mufasir masuk pada diskusi makna nāẓirah dalam Al-Qiyāmah:23, ada satu pertanyaan yang jauh lebih fundamental, Apakah Allah berjisim sehingga dapat menjadi objek penglihatan fisik? Jika jawabannya ya, maka pembahasan selesai, karena semua makhluk fisik bisa dilihat. Tetapi jika jawabannya tidak, maka kita tidak lagi boleh memahami ayat tersebut secara literal. Untuk beliau, jawaban yang benar adalah tidak. Allah bukan jism, bukan materi, dan tidak terikat ruang atau arah. Karena itu, mustahil Zat-Nya menjadi objek penglihatan mata manusia. Di sinilah beliau mengambil langkah penting, Jika objeknya bukan fisik, maka kata “melihat” harus ditafsirkan secara majazi (kiasan), bukan hakiki. Dengan kata lain, ayat “ilā rabbihā nāẓirah” tidak dapat dipahami sebagai “melihat Tuhan dengan mata”, melainkan harus dialihkan kepada sesuatu yang mungkin terjadi, misalnya melihat pahala, melihat ganjaran, atau menyaksikan balasan kebaikan dari Allah.
Jika Menolak Tasybih, Ayat Ini Tidak Bisa Dipahami Secara Literal
Setelah mengkritik kelompok yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, Qādī ‘Abd al-Jabbār beralih pada kelompok yang sebenarnya menolak tasybīh, tetapi tetap memahami ayat tersebut secara literal. Menurut beliau, sikap seperti itu tidak konsisten. Secara bahasa, naẓar memang bermakna “menggerakkan mata sehat untuk melihat objek fisik”. Jika Allah diyakini tidak berbentuk fisik, maka makna literal naẓirah tidak mungkin diberlakukan. Lalu bagaimana solusinya? yakni Takwil. Takwil ialah metode penafsiran yang berusaha menjelaskan makna tersirat atau kiasan dari suatu teks, biasanya dalam Al-Qur'an, dengan cara mengalihkan makna literal (dzahir) ke makna lain yang didukung oleh dalil atau bukti lain. Qādī ‘Abd al-Jabbār mengusulkan bahwa kata nāẓirah ilā rabbihā berarti, “memandang anugerah, pahala, dan balasan baik dari Tuhan.” Untuk memperkuat argumentasinya, beliau memberikan analogi Qur’ani:
وَسْـَٔلِ الْقَرْيَةَ
“Tanyalah kampung itu” (QS Yusuf: 82)
Orang tidak mungkin bertanya kepada bangunan. Yang dimaksud adalah penduduk kampung itu. Begitu pula dalam ayat Al-Qiyāmah, melihat Tuhan adalah ungkapan tentang menyaksikan pahala-Nya, bukan melihat Zat-Nya.
Membaca Struktur Retorika Surah Al-Qiyāmah
Salah satu ciri khas penafsiran Qādī ‘Abd al-Jabbār adalah kemampuannya membaca alur sebuah surah secara utuh, bukan memotong ayat secara terpisah. Dalam membaca Surah Al-Qiyāmah, ia menyoroti bagaimana ayat-ayatnya disusun dalam pola retorika yang sangat kuat, penggambaran pahala, disusul oleh penggambaran ancaman. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an sering menggunakan teknik yang sama, menghadirkan dua suasana emosional secara bergantian yakni harapan dan ketakutan, kabar gembira dan peringatan. Hal ini bertujuan menggugah kesadaran manusia, agar pembacanya tidak hanya terpukau oleh janji pahala tetapi juga diingatkan akan konsekuensi dosa.
Menurut Qādī ‘Abd al-Jabbār, Al-Qiyāmah: 22–23 masuk dalam pola tabsyīr (memberi kabar gembira). Ayat tersebut menggambarkan para mukmin dengan wajah berseri-seri, penuh cahaya, dan dipenuhi kedamaian. Gambaran itu memunculkan suasana optimisme dan semangat, seolah Allah sedang menenangkan hati manusia yang tengah membayangkan kedahsyatan hari kiamat. Tak lama setelah itu, surah ini memperlihatkan sisi kontrasnya:
وَوُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ ۢ بَاسِرَةٌۙ ٢٤ تَظُنُّ اَنْ يُّفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌۗ ٢٥
“Dan wajah-wajah pada hari itu muram. Mereka menyangka akan ditimpa azab yang amat pedih.”
Di sini suasana berubah drastis. Al-Qur’an menghadirkan bayangan ketakutan dan kecemasan, wajah gelap, murung, dan penuh kekhawatiran. Ini bukan sekadar pergeseran tema, tetapi sebuah strategi retoris untuk menegaskan betapa seriusnya persoalan keimanan dan amal perbuatan. Dari pola inilah Qādī ‘Abd al-Jabbār menyimpulkan bahwa kata nāẓirah ilā rabbihā harus dipahami dalam rangkaian retorika ini: wajah yang berseri karena menyaksikan pahala, bukan karena melihat Zat Allah. Gambaran “melihat” di situ adalah ungkapan tentang kebahagiaan yang memancar ketika seseorang melihat hasil amalnya, seperti siswa yang tersenyum ketika melihat hasil ujian yang memuaskan.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa, bagi Qādī ‘Abd al-Jabbār, memahami Al-Qur’an tidak berhenti pada makna sebuah kata, tetapi harus menelusuri aliran emosi, struktur argumentasi, dan tujuan penggugahannya. Karena itu, menurutnya, menafsirkan ayat tersebut sebagai “melihat Tuhan secara fisik” justru memutus alur retorika yang telah dibangun oleh surah ini. Dengan kata lain, ta’wil yang ia ajukan bukan hanya masuk akal secara teologis, tetapi juga sejalan secara artistik dengan cara Al-Qur’an menyusun pesan-pesannya.
Perdebatan tentang “melihat Tuhan” memang tidak sederhana. Ia bukan sekadar soal memilih makna literal atau makna majazi, tetapi menyangkut bagaimana kita memuliakan Tuhan dan memahami hubungan-Nya dengan manusia. Melalui tafsirnya, Qādī ‘Abd al-Jabbār mengingatkan bahwa Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca, tetapi juga direnungkan secara mendalam, bahkan ketika maknanya tampak jelas sekalipun. Ketika ia menegaskan bahwa nāẓirah berarti “melihat pahala”, bukan “melihat Zat Tuhan”, sebenarnya ia sedang menawarkan cara pandang yang lebih besar, bahwa kebahagiaan tertinggi bukan terletak pada visualitas, melainkan pada kepastian rahmat dan ridha Allah kepada hamba-Nya. Pada akhirnya, pesan ayat ini menjadi jelas, wajah-wajah berseri itu adalah milik mereka yang mendapatkan balasan baik dari Allah. Tafsir Qādī ‘Abd al-Jabbār memberikan cara pandang yang menegaskan bahwa pahala dan ridha Allah adalah bentuk kemuliaan terbesar yang bisa dialami manusia pada hari kiamat, tanpa perlu membayangkan-Nya dengan cara yang menyerupai makhluk. Dengan demikian, ayat ini tetap menjadi sumber harapan, tanpa melampaui batas kesucian dan keagungan Tuhan. []
Penulis: Siti Noer Ainy

Social Footer