Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Di dalamnya terkandung berbagai petunjuk kehidupan, mulai dari ibadah, muamalah, hingga akhlak. Namun, hadis pada awalnya tidak langsung dibukukan seperti Al-Qur’an. Ia disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi melalui hafalan para sahabat dan tabi’in.
Seiring berjalannya waktu, muncul kekhawatiran bahwa hadis akan hilang atau bercampur dengan riwayat palsu, terutama setelah wafatnya banyak sahabat. Dari sinilah muncul inisiatif untuk mengodifikasi hadis — mengubahnya dari bentuk lisan menjadi kitab tertulis 📜.
📖 Awal Penyampaian Hadis Secara Lisan
Pada masa Rasulullah SAW, hadis belum dibukukan secara resmi. Hal ini karena Nabi khawatir jika penulisan hadis akan bercampur dengan Al-Qur’an yang saat itu masih turun secara bertahap. Para sahabat lebih banyak mengandalkan hafalan yang kuat dan menyampaikan hadis secara riwayah bil ma‘na (menyampaikan makna tanpa mengubah substansi).
Beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan Aisyah r.a. dikenal memiliki hafalan hadis yang luar biasa. Mereka menjadi perantara utama penyebaran hadis setelah wafatnya Rasulullah SAW. 🕊️
🕋 Dorongan Kodifikasi pada Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Kodifikasi hadis secara besar-besaran dimulai pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717–720 M). Beliau menyadari bahwa banyak sahabat dan tabi’in yang wafat, sementara hadis belum dikumpulkan secara sistematis. Karena itu, beliau mengirim surat kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Hazm, agar menulis dan menghimpun hadis-hadis Rasulullah SAW.
Langkah ini menjadi awal resmi kodifikasi hadis dalam sejarah Islam. Dari sinilah lahir tradisi penulisan hadis secara ilmiah dan sistematis, yang kemudian berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri: Ilmu Musthalah Hadis. 📚
🌼 Masa Emas Kodifikasi Hadis
Setelah masa Umar bin Abdul Aziz, banyak ulama besar melanjutkan upaya kodifikasi ini. Beberapa karya monumental pun lahir, di antaranya:
· Al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas
· Musnad Ahmad bin Hanbal
· Shahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari
· Shahih Muslim karya Imam Muslim
· Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah
· Kitab-kitab tersebut dikenal dengan sebutan Kutub as-Sittah (Enam Kitab Hadis Pokok). Melalui karya-karya inilah hadis-hadis Nabi SAW dapat dijaga keasliannya dan dipelajari secara ilmiah hingga saat ini. 🌙
🔎 Metode dan Seleksi dalam Kodifikasi
Proses kodifikasi hadis tidak dilakukan sembarangan. Para ulama menerapkan metode ketat dalam menyeleksi hadis, seperti:
1. Meneliti sanad (rantai perawi) memastikan bahwa setiap perawi terpercaya dan memiliki hubungan langsung dalam meriwayatkan hadis.
2. Meneliti matan (isi hadis) memastikan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, akal sehat, atau fakta sejarah.
3. Klasifikasi hadis menjadi shahih, hasan, dan dhaif berdasarkan tingkat kepercayaannya.
4. Proses ini menunjukkan betapa seriusnya para ulama menjaga kemurnian sabda Rasulullah SAW. 💫
🌺 Makna Penting Kodifikasi Hadis
Kodifikasi hadis tidak hanya berfungsi sebagai pelestarian sejarah, tetapi juga sebagai landasan hukum dan pedoman hidup umat Islam. Melalui kodifikasi, hadis dapat:
· Menjadi rujukan ilmiah dalam memahami sunnah.
· Membedakan antara hadis sahih dan palsu.
· Menjadi dasar dalam penetapan hukum Islam (fiqh).
· Dengan demikian, kodifikasi hadis adalah bukti kecintaan umat terhadap Rasulullah SAW dan kesungguhan mereka menjaga warisan keilmuannya. 🕌
🌷 Penutup
Perjalanan hadis dari lisan ke kitab bukanlah hal yang mudah. Ia melalui proses panjang, penuh perjuangan, dan ketelitian yang luar biasa. Dari tangan para sahabat, tabi’in, hingga para imam besar, hadis akhirnya sampai kepada kita dalam bentuk kitab-kitab yang terjaga hingga kini.
Sebagai generasi penerus, kita sepatutnya menghargai jerih payah para ulama dengan terus mempelajari, memahami, dan mengamalkan hadis Nabi SAW dalam kehidupan sehari-hari. 🌸
Penulis: Vino Shafi

Social Footer