Berita Trending

Pendidikan Agama Islam di Era Sains Modern: Menemukan Harmoni Iman dan Akal dalam Perspektif Pemikiran Gus Dur

 


Kemajuan sains dan teknologi membawa perubahan besar dalam cara manusia belajar, berpikir, dan menjalani kehidupan. Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), teknologi digital, dan berbagi temuan ilmiah, pendidikan agama Islam dituntut untuk mampu beradaptasi agar tetap relevan dengan perubahan zaman. Pendidikan agama islam tidak lagi cukup diajarkan sebagai rangkaian dogma, melainkan perlu menjadi ruang dialog yang mempertemukan nilai-nilai spiritual dengan pemikiran ilmiah.

Dalam realitas pendidikan saat ini, kesenjangan antara pemahaman sains dan nilai-nilai agama masih sering dirasakan. Misalnya pada perdebatan mengenai penciptaan manusia, perkembangan teknologi, atau isu-isu lingkungan hidup. Banyak siswa masih kesulitan melihat hubungan antara pelajaran sains yang mereka pelajari di kelas dengan ajaran agama yang mereka yakini setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi antara ilmu dan iman perlu terus diperkuat agar pendidikan agama tidak terasa terpisah dari kehidupan modern.

Dalam situasi seperti ini, pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberikan arah baru. Sebagai tokoh Islam progresif, Gus Dur menekankan bahwa Islam tidak hanya mengajarkan ketaatan, tetapi juga mendorong penggunaan akal untuk memahami ayat-ayat Allah. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 269: “Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak.” Artinya, pendidikan agama Islam perlu membuka diri terhadap pemikiran ilmiah agar peserta didik tumbuh sebagai pribadi yang beriman kuat sekaligus kritis.

Pemikirannya banyak menekankan pentingnya keterbukaan, dialog, dan mendorong untuk berpikir kritis tanpa kehilangan nilai-nilai akhlak. Gus Dur memandang bahwa agama dan ilmu pengetahuan tidak harus dipertentangkan.  Bagi Gus Dur, agama bukan untuk membatasi nalar, tetapi justru menjadi pijakan moral agar ilmu pengetahuan tidak disalahgunakan. Beliau sering menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menghargai akal, kreativitas, dan perkembangan ilmu. Karena itu, umat Islam tidak perlu merasa terancam oleh sains. Sebaliknya, sains dapat membantu umat memahami keindahan ciptaan Tuhan secara lebih mendalam.

Pemikiran Gus Dur juga mendorong dunia pendidikan untuk mengembangkan pendekatan yang menyatukan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sekolah umum maupun madrasah tidak hanya dituntut mengajarkan teori, tetapi juga menanamkan sikap terbuka, toleran, dan mampu berpikir kritis. Pendidikan agama perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi ajarannya. Dengan cara ini, generasi muda akan merasa bahwa agama tetap relevan dan memberikan arah di tengah kompleksitas dunia modern.

Dalam implementasinya, guru Pendidikan agama islam dapat memadukan ayat-ayat Al-Qur’an dengan fenomena ilmiah, mengintegrasikan etika teknologi dalam pembelajaran, serta menanamkan nilai humanisme universal. Pendidikan agama tidak hanya berisi hafalan, tetapi juga pembentukan karakter dan kesadaran berpikir. Integrasi antara sains dan agama bukan berarti mencampuradukkan keduanya, tetapi mencari titik temu yang membuat peserta didik mampu melihat bahwa keduanya saling melengkapi. Sains menjelaskan bagaimana sesuatu terjadi, sedangkan agama menjelaskan untuk apa hidup ini dijalani. Jika pendekatan ini berhasil diterapkan, maka pendidikan Islam akan mampu melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas dan kreatif, tetapi juga berkarakter, berakhlak, dan mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.

Pada akhirnya, pendidikan agama Islam di era sains modern harus menjadi ruang dialog yang sehat antara iman dan akal. Pemikiran Gus Dur memberikan inspirasi penting bahwa keterbukaan, penghargaan terhadap ilmu, dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan adalah kunci untuk menghadapi perubahan zaman. Dengan harmonisasi ini, pendidikan tidak hanya menghasilkan individu yang menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga manusia yang bijaksana, berakhlak, dan memiliki integritas.

Referensi

  • Abdurrahman Wahid. Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
  • Abdurrahman Wahid. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Desantara, 2001.
  • Hidayat, F. (2015). Pengembangan paradigma integrasi ilmu: Harmonisasi Islam dan sains dalam pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam4(2), 299-318.
  • Uyun, N., Miftakhussurur, M., Mafudin, M. M. H., & Arfiani, N. (2024). HARMONISASI PEMIKIRAN SAINS DAN AGAMA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER. Islamic Studies Journal for Social Transformation8(1), 38-52. 

 

Penulis: Naela Noviatul Izza (Mahasiswa Universitas Islam Negeri Abdurrahman Wahid Pekalongan)

 

Type and hit Enter to search

Close