Dikenal dengan julukan “Singa Podium,” KH Muhammad Isa Anshari bukan sekadar sosok pendakwah biasa. Di atas panggung dakwah, suaranya menggema lantang, menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. KH Muhammad Isa Anshari dalam bukunya Mujahid Dakwah (1966) menegaskan bahwa para nabi dan rasul bukan hanya pembawa wahyu, tetapi juga ulung dalam seni berdakwah melalui pidato yang memukau. Ia berkata, “Para Nabi dan Rasul yang dikirim ke dunia pada umumnya adalah ahli pidato yang ulung, juru dakwah yang bijak, muballigh yang tangkas.”
Tidak hanya piawai berbicara, Isa Anshari juga menempatkan tulisan sebagai senjata penting dalam menyebarkan pemikiran dan keyakinan. Katanya, “Tulisan dan jejak pena seorang pengarang, menjadi pelopor dari suatu pemikiran, pandangan dan keyakinan, idea dan cita. Revolusi-revolusi besar di dunia selalu didahului oleh jejak pena dari seorang pengarang.”
Kalimat-kalimat KH Isa Anshari sering dikenang sebagai petir yang membangunkan umat. Di masa ketika bangsa masih dirundung pertarungan ideologi dan kebingungan arah pendidikan Islam, Ia berdiri sebagai sosok yang mengembalikan semangat umat Islam melalui kata-katanya yang terdengar lantang dan menggugah kesadaran. Lantas, siapa sebenarnya KH Isa Anshari? Mengapa ia disebut sebagai Sang Singa Podium?
Isa Anshari lahir pada 1 Juli 1916 di Agam, Maninjau, Sumatera Barat. Isa Anshary dibesarkan dalam keluarga yang kental dengan nilai-nilai Islam. Bersama kedua orang tuanya, Isa Anshari kecil belajar tentang Islam. Selain mempelajari ilmu agama dari kedua orang tuanya, ia juga menimba ilmu di surau sekitar rumahnya. Di usia muda ia sudah mulai menyelami dunia politik di tanah kelahirannya, bahkan saat ia berusia 10 tahun, ia sudah menjadi kader PSII Maninjau, dan diusia 13 tahun ia aktif menjadi Mubaligh Muhammadiyah.
Tradisi merantau Minang tak terlewatkan Isa Anshori, saat menginjak usia 16 tahun, Isa Anshari memilih untuk meninggalkan kampung halamannya dan merantau ke Kota Kembang, Bandung. Di tanah rantaunya pemuda Minang ini mengasah diri dengan mengikuti berbagai kursus ilmu pengetahuan umum, sekaligus memperdalam pemahaman Agama Islam dengan bergabung kedalam Organisasi Masyarakat, yaitu Jam’iyyah Persatuan Islam (PERSIS).
Di Persatuan Islam, Isa Anshari banyak menuntut ilmu agama kepada Ahmad Hassan, seorang ulama yang sudah lebih dulu berkiprah di Persatuan Islam. Isa Anshari berguru seputar agama Islam kepada A. Hassan, ia merupakan seorang yang faqih dalam agama Islam. A. Hassan juga memiliki banyak hubungan dengan aktivis politik, sehingga A. Hassan memiliki pandangan-pandangan politik yang nantinya akan diwariskan kepada Isa Anshari.
Selain A. Hassan, di Persatuan Islam Isa Anshari juga bertemu dengan Mohammad Natsir. Mohammad Natsir adalah perantau Minang lain yang tumbuh menjadi tokoh nasional setelah mengasah diri di Bandung. Jika kepada A. Hassan Isa Anshari menimba ilmu keagamaan, maka melalui Natsir, Isa Anshari banyak berdiskusi perihal pandangan demokrasi dan bernegara.
Melalui dua tokoh ini, Isa Anshari mendapatkan banyak pelajaran dan pengaruh yang signifikan dalam ranah sosial, intelektual maupun politik. Di sinilah semangat aktivisnya menggebu-gebu, dan ia mulai terlibat dalam kegiatan keagamaan, organisasi, dan politik nasional.
Pada tanggal 7 Desember 1949, Isa Anshari tampil sebagai ketua umum pimpinan pusat Persatuan Islam. Isa Anshari sebenarnya sudah menjadi pimpinan Persatuan Islam pada tahun 1940 ketika terpilih menjadi anggota hooftbestuur (pimpinan pusat). Isa Anshari kemudian menjadi ketua umum pimpinan pusat Persatuan Islam hingga tahun 1960. Selama memimpin Persatuan Islam sebagai ketua umum, Isa Anshari bertekad memperkuat pemahaman umat Muslim tentang ideologi Islam. (Adam, 2022)
Dalam semangat perjuangannya, Isa Anshori melihat bahwa tugas Persatuan Islam sangat krusial dan mencakup banyak aspek dalam kehidupan umat Islam. Salah satu fokus utamanya adalah membangun kader-kader muda melalui madrasah sebagai tempat Pendidikan dan pembinaan. Ia mewujudkan ide ini dengan menyusun Qanun Asasi atau anggaran dasar Persatuan Islam.
Pada Muktamar V Persatuan Islam tahun 1953, Isa Anshari dipercaya menjadi tim perumus Qanun Asasi (anggaran dasar) Persatuan Islam yang disetujui bulat peserta. Qanun Asasi tersebut mencerminkan ciri khas Persatuan Islam di bawah kepemimpinannya, yakni fokus pada dakwah serta penolakan tegas terhadap komunisme yang disebarkan PKI. Kemudian Qanun Asasi yang dibuat Isa Anshori disempurnakan di Muktamar VIII tahun 1967.
Semangatnya ini tak pernah luntur, meski ia sempat dipenjara oleh rezim Orde lama di Madiun. Saat masa tahanan itu, Isa Anshori menulis sebuah naskah berjudul “Renungan 40 Tahun Persatuan Islam” yang ditujukan kepada Yahya Wardi, ketua umum Pemuda Persatuan Islam saat itu. Naskah ini kemudian disebarkan kepada peserta muktamar untuk mengobarkan kembali semangat perjuangan dan pengembangan Islam di kalangan kader Persatuan Islam.
Saifuddin menyebutkan, Isa Anshori tidak hanya tergabung dalam Persatuan Islam. Ia terlibat dalam mendirikan Muhammadiyah cabang Bandung. Selain itu, ia pun bergabung dengan kelompok pemuda yang disebut-sebut radikal seperti M. Natsir. Ia juga aktif menjadi anggota Indonesia Berparlemen, Sekretaris Umum Komite Pembela Islam, dan Pemimpin Redaksi majalah Daulah Islamiyah.
Pada masa kolonial Belanda, Muhammad Isa Anshari aktif sebagai kader Partai Sarekat Islam Indonesia cabang Maninjau, mubalig Muhammadiyah, kader Partai Indonesia cabang Bandung, ketua Persatuan Muslimin Indonesia cabang Bandung, pimpinan Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia cabang Bandung, sekretaris Partai Islam Indonesia cabang Bandung, serta pemimpin redaksi Aliran Muda dan Laskar Islam.
Pada pendudukan Jepang (1942–1945), ia memimpin Gerakan Anti Fasis (Geraf), Angkatan Muda Indonesia, Bagian Penerangan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) cabang Bandung, serta menjadi anggota Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Majelis Islam.
Isa Anshari mengadopsi berbagai ilmu dan pengalaman dari pertemuan di beragam organisasi yang diikutinya, sehingga ia tumbuh menjadi sosok yang bukan hanya pandai berbicara dengan penuh karisma dan kekuatan orasi, tetapi juga menjadi penulis ulung yang mampu menyuarakan pemikirannya secara tajam dan berpengaruh. Pengalaman lintas organisasi ini mengasah kemampuannya dalam merangkai kata dan menyampaikan ide-ide secara meyakinkan, menjadikannya figur yang sangat berpengaruh di dunia politik dan dakwah Islam.
Dalam kancah politik, Masyumi menjadi ladangnya. Bagi para ulama kritis, berpolitik merupakan bagian tuntutan agama. Mereka selalu meneriakkan kebenaran walaupun pahit dirasakan. Bagi mereka, berpolitik adalah alat untuk mencapai cita-cita umat Islam. Di bawah bendera Masyumi, ia semakin memperkuat posisinya sebagai politisi.
Pidatonya selalu bergelora membuat pandangan yang mendengarkan selalu tertuju kepadanya. Bukan sekali dua kali ia ditegur oleh aparat keamanan karena “garangnya” pidato yang ia sampaikan. Dalam hal tulis menulis analisisnya cukup tajam. Di antaranya hasil karyanya adalah Bahaya Merah Indonesia (1956), Barat dan Timur (1948), Islam Menentang Komunisme (1956), Tuntunan Puasa (1940), Umat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1953), dan lain-lain.
Itulah mengapa Isa Anshori dijuluki “Sang Singa Podium” kemampuannya yang luar biasa dalam berorasi dengan suara yang menggelegar dan penuh wibawa, laksana raungan singa yang membahana di arena. Pidatonya tidak hanya sekadar suara lantang, tetapi juga sarat dengan argumen tajam dan keyakinan yang membakar semangat ribuan pendengar, sehingga setiap kata yang keluar dari mulutnya mampu menarik perhatian dan menggerakkan hati massa.
Terutama pada era pemerintahan Soekarno, Isa Anshari berani menentang kebijakan Nasakom yang memadukan nasionalisme, agama, dan komunisme, menolak keras PKI ke dalam politik nasional. Membuatnya menjadi sosok yang sangat berpengaruh sekaligus menjadi perhatian aparat keamanan karena dampak politik dari orasinya yang kuat dan berani mengusik ketenangan rezim saat itu. Dengan gaya bicaranya yang khas, ia membawa semangat perjuangan Islam dan kesadaran politik umat ke tingkat yang lebih tinggi, menjadikannya legenda dalam dunia dakwah dan politik Indonesia.
KH. Muhammad Isa Anshori adalah simbol keberanian yang menggetarkan umat. Melalui pidato-pidatonya yang lantang ia dijuluki “Sang Singa Podium.” Dengan mempelajari biografi dan karya-karyanya, kita dapat meneladani keteguhan sikap, kejernihan pikirannya, serta komitmennya pada dakwah dan nilai-nilai Islam. Harapannya, generasi hari ini mampu menyerap semangat perjuangannya sehingga ruh keislaman tetap hidup dan mampu menguatkan kembali karakter serta keimanan umat.
REFERENSI
Isa Anshari, K. M. (1966). Mujahid Dakwah. Persatuan Islam Bandung.
Adam, Y. F. (2022). Sejarah pemikiran dakwah Islam Isa Anshary tahun 1940-1969. Historia Madania, 6(2), 80.
Saifuddin, A. (n.d.). Isa Anshari, Muhammad. Ensiklopedia Islam Indonesia.
Penulis: Alifah Salma Mustaqimah (Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Negeri Sunan Gunung Djati Bandung)

Social Footer