Pendahuluan
QS. Al-Baqarah ayat 151 berada dalam rangkaian perubahan kiblat yang sempat mengundang perdebatan di kalangan Yahudi dan musyrikin. Peralihan arah salat ini tidak hanya menguji ketaatan, tetapi juga menegaskan penyempurnaan nikmat Allah. Ayat ini menjelaskan bahwa nikmat itu sebanding dengan nikmat diutusnya Rasul yang membawa empat fungsi utama: membacakan ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa, mengajarkan Kitab, dan mengajarkan hikmah.
1. Ayat Dan Terjemahan Qs. Al Baqarah Ayat 151
﴿ كَمَآ أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُوْلًا مِّنْكُمْ يَتْلُوْا عَلَيْكُمْ اٰيٰتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ ١٥١ ﴾
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul dari kalanganmu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikanmu, mengajarkan Kitab dan hikmah, dan mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.” (Qs. Al Baqarah Ayat 151)
2. Kajian Kosakata & I’rab
Pada frasa كَمَا أَرْسَلْنَا, para ulama bahasa memberikan beberapa pemaknaan yang memperkaya konteks ayat. Huruf kāf di sini dipahami sebagai kāf at-tasybīh, yang menghubungkan dua nikmat besar: nikmat syariat berupa perubahan kiblat dan nikmat risalah berupa pengutusan Rasul. Menurut al-Farrā’ dan Ibn ‘Athiyyah, kamā berfungsi menyerupakan penyempurnaan nikmat ini dengan nikmat pengutusan Rasul, sehingga penekanannya tidak lagi pada arah kiblat, tetapi pada ketaatan.
Sebagian ulama lain memaknainya sebagai haal, menunjukkan bahwa penyempurnaan nikmat terjadi “dalam keadaan” Rasul hadir membimbing umat. Sementara itu, menurut az-Zajjāj, frasa ini terkait dengan perintah pada ayat 152 sehingga maknanya menjadi: “Maka ingatlah kepada-Ku sebagaimana Aku telah mengutus kepadamu seorang Rasul.” Ini menegaskan bahwa dzikir adalah respons terhadap nikmat risalah. Tanpa memaparkan seluruh detail nahwu, beberapa poin i‘rab penting yang memengaruhi pemaknaan ayat adalah sebagai berikut:
· كَمَا: terdiri dari kāf tasybīh dan mā mashdariyyah. Keduanya membentuk makna “sebagaimana”, memperkuat relasi antara syariat dan risalah.
· أَرْسَلْنَا: fi‘l māḍī dengan dhamir “nā” sebagai fa‘il, menegaskan pelaku pengutusan adalah Allah sendiri.
· رَسُولًا مِنْكُمْ: menunjukkan bahwa Rasul berasal dari kalangan umatnya, sehingga lebih mudah dicontoh dan ditaati.
· يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا: menjadi sifat bagi rasūlan, menegaskan tugas pertama Rasul: menyampaikan wahyu.
· وَيُزَكِّيكُمْ – وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ – وَالْحِكْمَةَ: tiga rangkaian fi‘l mudhāri‘ yang masing-masing menunjukkan kelanjutan fungsi pendidikan Rasul: penyucian jiwa, pengajaran al-Kitab, dan pengajaran hikmah.
· مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ: menunjukkan keluasan ilmu yang diajarkan Rasul, meliputi hal-hal yang mustahil diketahui umat tanpa wahyu.
Catatan Ṣharf
· أَرْسَلْنَا: dari wazan af‘ala, menunjukkan tindakan “mengutus”.
· رَسُولٌ: wazan fa‘ūl, mengandung makna pembawa pesan.
· يُزَكِّي: dari wazan yufa‘‘ilu, bermakna membersihkan dan menyucikan.
· الْحِكْمَةُ: dari wazan fi‘lah, bermakna kebijaksanaan yang melengkapi pengajaran kitab.
3. Sabab Nuzul dan Munasabah
Ayat ini turun setelah perintah pengalihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka‘bah. Perubahan kiblat memicu kritik dari kelompok Yahudi dan kaum musyrik. Di tengah perdebatan ini, Allah menegaskan bahwa perubahan arah salat adalah nikmat besar, setara dengan nikmat diutusnya Rasul.
Kata kamā (“sebagaimana”) di awal ayat menghubungkan dua nikmat besar:
A. Nikmat syariat (perintah kiblat),
B. Nikmat risalah (pengutusan Nabi Muhammad ﷺ).
Dua hal ini saling melengkapi karena tanpa bimbingan Rasul, umat tak akan mampu memahami syariat.
4. Penafsiran Ayat
Penafsiran Ayat menurut pandangan beberapa mufassir:
1. Tafsir al-Munīr – Wahbah al-Zuhaili
Al-Zuhaili menegaskan bahwa ayat ini menguatkan posisi Rasulullah ﷺ dalam menghadapi kritik Ahlul Kitab. Pengutusan Rasul disandingkan dengan penetapan kiblat sebagai bentuk penyempurnaan nikmat Allah bagi umat ini. Yang dinilai oleh Allah bukan arah bumi, melainkan ketaatan. Rasul hadir untuk:
· membacakan wahyu,
· menyucikan jiwa,
· mengajarkan Kitab,
· serta memberi pemahaman hikmah.
2. Tafsir al-Qurṭubī
Al-Qurṭubī menjelaskan bahwa pengalihan kiblat disebut berulang kali (ayat 144, 149, 150) sebagai penegasan hukum. Menurutnya, hikmah terbesar dari perubahan arah salat adalah menghilangkan hujjah Ahlul Kitab, agar mereka tidak menuduh Nabi sebagai pengikut tradisi mereka.
Ayat 151 menunjukkan bahwa nikmat ini tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan misi Rasul yang empat itu.
3. Tafsir Fī Ẓilāl al-Qur’ān – Sayyid Qutb
Sayyid Qutb melihat ayat ini sebagai penggenapan doa Nabi Ibrahim tentang hadirnya seorang Rasul dari keturunannya. Empat tugas Rasul dipandang sebagai proses transformasi umat: dari kebodohan menuju masyarakat yang berperadaban.
Baginya, umat Islam hanya akan bangkit jika kembali menjadikan Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, tetapi “manhaj hidup”.
4. Tafsir Ibn Katsīr
Ibn Katsīr menekankan bahwa keberadaan Rasul yang “min-kum” (dari kalangan kalian) adalah karunia istimewa karena umat dapat belajar langsung dari teladan hidup Rasul. Menurutnya, frasa “yuzakkīkum” (menyucikan kalian) bermakna membersihkan keyakinan, adat, dan karakter masyarakat dari pengaruh jahiliah.
5. Analisis Kritis
Ayat ini memperlihatkan bahwa Islam menempatkan reformasi spiritual dan intelektual di atas ritual formal. Perdebatan arah kiblat yang terjadi pada masa Nabi adalah contoh bagaimana manusia kerap terjebak pada simbolisasi agama, sementara esensinya tidak dipahami. Empat tugas Rasul dalam ayat ini membentuk model pendidikan Qur’ani:
a. Tadabbur Ayat,
b. Tazkiyatun nafs (penyucian diri),
c. Ta‘līm al-kitāb (pengajaran hukum),
d. Ta‘līm al-ḥikmah (pemahaman mendalam).
Empat unsur ini saling terkait. Tanpa tazkiyah, ilmu hanya menimbulkan arogansi dan juga tanpa hikmah, syariat mudah dipahami secara kaku. Di sinilah ayat ini mengkritik cara beragama yang melompat langsung ke aturan, tetapi mengabaikan penyucian karakter. Ayat ini memberikan beberapa pelajaran penting untuk kehidupan modern, yaitu:
1. Pendidikan Islam harus menyentuh karakter, bukan hanya pengetahuan.
Masyarakat hari ini kaya akses ilmu, tetapi miskin kepekaan moral. Rasul mengajarkan bahwa ilmu harus mendidik hati (tazkiyah).
2. Tidak perlu terjebak pada simbol agama.
Perubahan kiblat mengajarkan bahwa ketaatan lebih penting daripada arah fisik. Hal ini relevan dengan kecenderungan sebagian orang memperdebatkan simbol identitas, tetapi melupakan substansi akhlak.
3. Keberkahan ilmu datang dari hikmah, bukan banyaknya informasi.
Rasul tidak hanya mengajarkan “ayat” tetapi juga “hikmah” cara memahami dan menerapkan ayat dalam konteks sosial.
4. Umat Islam wajib bersyukur dengan cara mengamalkan ilmu.
Ayat setelahnya (“Ingatlah kepada-Ku…”) menyiratkan bahwa syukur bukan slogan, tetapi komitmen pada tuntunan Rasul.
QS. Al-Baqarah ayat 151 menegaskan bahwa nikmat terbesar bagi umat Islam adalah diutusnya Rasul, yang membawa proses pendidikan lengkap yaitu, pembacaan wahyu, penyucian jiwa, pengajaran Al-Qur’an, dan bimbingan hikmah. Ayat ini hadir dalam konteks perubahan kiblat untuk menegaskan bahwa ajaran agama bukanlah simbol fisik, tetapi pembentukan manusia berilmu dan berakhlak.
Penafsiran ata pendapat para ulama menunjukkan bahwa keemasan umat bergantung pada sejauh mana ajaran Rasul dijadikan pedoman hidup, bukan sekadar dikenang. Dalam dunia modern yang serba cepat, ayat ini menjadi pengingat bahwa fondasi kemajuan tetap sama: ilmu yang mendidik jiwa.
Daftar Pustaka
Asy-Syaukani, Imam. Nailul Authar: Tahqiq dan Takhrij. Tahqiq dan takhrij oleh Sayyid Ibrahim. Kairo: Dar al-Hadits, 2017.
Quthb, Sayyid. Fi Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an). Jilid 1. Diterjemahkan oleh As’ad Yasin, Abdul Aziz Salim Basyarahil, dan Muchotob Hamzah. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Ṣafī, Mahmud bin ‘Abdir Raḥim. Al-Jadwal fi I‘rab al-Qur’an al-Karim. Cet. 4. Damaskus: Dar ar-Rasyid; Beirut: Mu’assasah al-Iman, 1418 H.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Vol. 1. Jakarta: Lentera Hati, 1999.
Zuhaili, Wahbah az-. Tafsir al-Munir: Aqidah, Syariah, & Manhaj. Jilid 1. Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani, Achmad Yazid Ichsan, dan Muhammad Badri H. Jakarta: Gema Insani, 2013.
Penulis: Ingriani Khofifah (Mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta)

Social Footer