Pelaksaan ibadah haji dari tahun ke tahun pasti berbeda nuansanya. 1001 cerita. Begini dan begitu.
Cerita haji tahun ini diawali dengan molornya waktu menuju Mina untuk Tarwiyah. Rencananya kami akan diangkut bakda maghrib. Rilnya, kurleb setangah satu dini hari, kami baru diangkut. Syukur alhamdulillah.
Tiba di Mina, sekira pukul setengah 3an kami langsung santap 'sahur'. Dinikmati saja.
Pagi hari, 9 Dzulhijjah, lagi lagi masalah transportasi telat. Kami maklumi, mungkin beginilah nasib dan takdir kami yang harus diterima dengan lapang.
Tiba di Arafah kurleb pukul 9-an. Kami berbenah. Karena jamaah laki-perempuan harus disatukan dalam satu tenda. Tak masalah, dan aman aman saja. Khutbah Arafah, shalat jamak qashar zuhur-asar kami tunaikan apa adanya. Dinikmati betul.
Pukul 9 malam, sesuai qur'ah, kami diangkut ke Mina, bukan ke Muzdalifah. Kami diturunkan di maktab. Di sinilah perdebatan terjadi dengan pihak maktab. "Kenapa kami diturunkan di sini? Bukankah ini Mina?" Jawaban pihak maktab, "Ini Mina Jadid. Dia juga Muzdalifah." Nampaknya, Mina Jadid ini bagai dua sisi mata uang. Satu Mina, satu lagi Muzdalifah. Karena kami punya komitmen, kami tolak arahan pihak maktab.
Rombongan kami mundur beberapa langkah,
untuk mencari lapangan agar bisa mabit beratap langit Muzdalifah.
Qadarullah, kami mendapatkannya. Walaupun kemudian kami diusir, karena
lahan tersebut diperuntukan bagi jamaah haji Malaysia. Beruntung banget,
karena sebelum meninggalkan tanah Muzdalifah, kami sempat menunaikan
shalat maghrib-isya dengan jamak takhir. Alhamdulillah. Dinikmati
sekali.
Sebelum subuh, 10 Dzulhijjah, kami bersiap-siap menuju
Jamarat untuk Aqabah dan ifadhah. Jadwal ini tidak mengikuti Maktab.
Sebab waktunya tak sesuai dengan manasik haji kami. Pada kondisi inilah,
komitmen menjadi satu satunya pilihan. Shalat subuh di jalan aspal pun
bagi kami dinikmati saja, sebab kami ingin melempar jamrah Aqabah saat
dhuha.
Dari Aqabah, kami gas menuju Harom untuk ifadhah. Kurang
tidur, belum sarapan, pisik kelelahan, kami paksakan saja. Jamaah pun
tercecer dan terpencar. Karena komitmen diri kepada Allah untuk
menyempurnakan manasik haji Rasul-Nya, kondisi apa pun kami lewati
dengan penuh kepasrahan. Qadarullah, kami bisa ifadhah. Bahkan, kami
melakoninya sambil menuntun seorang lansia risti penyitas stroke. Kami
bisa thawaf di lantai utama. Air mata tak terbendung saat thawaf. Banyak
yang ngasih isyarat jempol kepada kami. Mungkin disangkanya kami
mengawal ayah kami.
Singkat cerita, pukul 9an malam, kami sudah
kembali Mina. Kondisi letih, bukannya langsung istirahat. Malah berbagai
cerita dengan sesama jamaah satu tenda. Seru dan amazing pokoknya
Baca sambungannya disini
Social Footer