Berita Trending

Hikmah dari Haflah: Ilmu adalah Amanah, Adab sebagai Mahkotanya

 


Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela kaca aula Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan. Udara terasa sejuk, penuh rasa syukur. Di dalam ruangan, para santri duduk rapi bersarung, sementara deretan tamu undangan, wali santri dan alumni mengisi tempat duduk yang tersusun rapi. Spanduk besar bertuliskan “Haflah at-Tasyakkur lil Ikhtitam” membentang di belakang panggung, menjadi saksi kebahagiaan sekaligus refleksi akhir tahun belajar.

Di atas panggung, Romo Kyai Ahmad Taufiq, selaku pengasuh pondok yang juga dosen di kampus itu, berdiri dengan wajah teduh dan senyum khasnya. Suaranya tenang namun berwibawa, menembus kesunyian pagi.

“Al-‘ilmu amānah, wal adabu tājuhu.”
Ilmu adalah amanah, dan adab adalah mahkotanya.

Kalimat itu meluncur pelan namun kuat, membuat hadirin seolah berhenti sejenak untuk merenung. Romo Kyai menatap para santri dengan lembut, lalu melanjutkan, “Ilmu bukan sekadar pengetahuan yang disimpan di kepala, tapi amanah yang harus dijaga dengan adab dan keikhlasan.”

Suasana aula menjadi hening. Sebagian santri menunduk, sebagian lagi mencatat. Tak sedikit yang menitikkan air mata haru. Sebab di balik perayaan haflah itu, tersimpan perjalanan panjang para penuntut ilmu, malam-malam panjang mengaji, hari-hari penuh ujian, serta nasihat para kiai yang terus menuntun.

Pesan Romo Kyai pagi itu bukan hanya sambutan seremoni, tetapi nasihat hidup. Falsafah “al-‘ilmu amānah, wal adabu tājuhu” telah lama menjadi fondasi moral dalam tradisi pesantren. Ia mengingatkan bahwa ilmu adalah titipan suci dari Allah, dan adab adalah mahkota yang membuatnya indah. Tanpa adab, ilmu kehilangan arah; tanpa amanah, ilmu kehilangan makna.

KH. Ahmad Shiddiq pernah mengatakan, “Orang berilmu tanpa rasa tanggung jawab ibarat pedang di tangan anak kecil. Bisa melukai siapa saja, bahkan dirinya sendiri.” Itulah sebabnya, di pesantren, santri diajarkan bahwa menuntut ilmu bukan sekadar perkara otak, tetapi juga hati.

Pandangan ini berpijak pada Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 72:

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, semuanya enggan memikul amanah itu dan mereka khawatir mengkhianatinya, tetapi manusia memikulnya...”

Bagi santri, amanah itu mencakup iman, moral, dan ilmu. Maka siapa pun yang belajar, sejatinya sedang menerima tanggung jawab besar untuk menjaga kebenaran, menebarkan manfaat, dan menjauhi kesombongan.

KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim menulis, “Adab lebih tinggi daripada ilmu, sebab adab menjaga ilmu, sedangkan ilmu belum tentu menjaga adab.” Karena itu, di pesantren, santri lebih dulu diajari cara menghormati guru, cara duduk yang sopan, cara berbicara dengan takzim sebelum mengkaji kitab.

Dalam sambutan itu, Romo Kyai Ahmad Taufiq juga menyinggung tantangan zaman modern. “Sekarang banyak orang cerdas, tapi tidak sabar. Banyak yang pintar, tapi lupa sopan santun. Karena itu, santri harus tampil membawa kesejukan ilmu dan keindahan adab,” ujarnya disambut anggukan para hadirin.

Pesan itu senada dengan nasihat Gus Mus (KH. Mustofa Bisri):

“Sekarang banyak orang berilmu, tapi sedikit yang beradab. Padahal tanpa adab, ilmu kehilangan ruhnya.”

Bagi Romo Kyai, santri adalah penjaga keseimbangan antara akal dan hati. Mereka tidak hanya membaca teks, tetapi juga menafsirkan makna kehidupan di baliknya. Ketika santri meneliti sains, mereka sedang membaca ayat-ayat kauniyah, tanda kebesaran Allah di alam semesta.

Sebagaimana diingatkan Buya Hamka, “Ilmu yang tidak menumbuhkan rasa takut kepada Allah hanyalah kumpulan kata tanpa makna.” Inilah esensi pendidikan pesantren yang sesungguhnya: menjadikan ilmu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan sekadar alat untuk mencari kedudukan dunia.

Pagi itu, sebelum acara ditutup, Romo Kyai menegaskan kembali pesannya, “Santri masa kini bukan hanya yang tinggal di pondok. Siapa pun yang menuntut ilmu dengan hati bersih dan niat tulus, dialah santri. Karena santri sejati adalah penjaga amanah ilmu.”

Ucapan itu disambut tepuk tangan panjang. Para santri tersenyum sambil menatap satu sama lain, seolah mengerti bahwa di balik syahadah kelulusan, mereka sedang membawa beban mulia: menjaga ilmu dengan adab.

Falsafah al-‘ilmu amānah, wal adabu tājuhu akhirnya bukan sekadar semboyan di dinding pesantren, melainkan napas hidup yang terus mengalir. Ia mengingatkan bahwa ilmu tanpa adab akan menyesatkan, dan adab tanpa ilmu akan menumpulkan. Keduanya harus berjalan beriringan, agar ilmu menjadi cahaya, dan adab menjadi pelindungnya.

Sebagaimana pesan terakhir Romo Kyai pagi itu yang kelak banyak dikutip para santri:

“Belajarlah setinggi langit, tapi jangan lupa menundukkan hati ke bumi.”

Sebab di sanalah letak kemuliaan sejati ilmu: ketika ia tidak hanya menerangi akal, tetapi juga menuntun jiwa. []

 

Penulis: Riqi Jauhari (Mahasiswa Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan)

 

 

Type and hit Enter to search

Close