Kampus-kampus Muhammadiyah kini tengah jadi sorotan. Bukan karena masalah, tapi karena pesan tegas dari pucuk pimpinan Muhammadiyah yang menyentil praktik “bagi-bagi” gelar profesor kehormatan. Yup, kamu nggak salah baca—Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, secara terang-terangan meminta agar Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) nggak ikut-ikutan kasih gelar profesor kehormatan ke tokoh-tokoh besar seperti yang mulai marak dilakukan kampus lain.
Dalam momen pengukuhan Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Jebul Suroso, sebagai guru besar di bidang manajemen keperawatan, Haedar memberi warning keras agar PTMA tetap teguh menjaga nilai akademik. “Profesor itu jabatan, bukan hadiah atau gimmick. Itu melekat pada profesi dan institusinya,” tegas Haedar, Kamis (10/4/2025). Bahkan ia bilang, meski belum ada surat keputusan (SK), anggap saja itu perintah dari ketua umum demi marwah PTMA.
Kalau kamu pikir ini cuma soal formalitas, pikir lagi. Data dari Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah mencatat, Muhammadiyah saat ini punya 162 kampus yang tersebar dari Sabang sampai Merauke—terdiri dari 93 universitas, 37 sekolah tinggi, 26 institut, 1 akademi, dan 5 politeknik. Dan sejauh ini, sudah ada 431 guru besar di lingkungan PTMA. Nggak sedikit kan? Nah, Haedar ingin jumlah itu bukan sekadar angka, tapi benar-benar mencerminkan kualitas dan daya saing global.
Targetnya jelas: masuk jajaran world class university. “Meski di dalam negeri kita sudah besar, tapi di level dunia kita belum masuk radar. Kita harus kerja keras buat bisa tampil di ranking universitas kelas dunia,” ujar Haedar. Apalagi sekarang sudah ada 20 PTMA dengan fakultas kedokteran dan 14 kampus Muhammadiyah yang sudah punya akreditasi unggul—modal bagus buat bersaing di level internasional.
Sementara itu, Jebul Suroso—yang baru saja dikukuhkan sebagai profesor—juga menyuarakan misi besar. Ia menyoroti peran perawat di tengah lanskap politik kesehatan Indonesia. Menurutnya, perawat zaman sekarang nggak bisa cuma jadi ‘penjaga kasur’ pasien. Mereka harus tech-savvy, punya jiwa entrepreneur, dan jadi agen perubahan di sektor kesehatan. “Perawat juga harus bisa promosiin gaya hidup sehat, bukan cuma rawat yang udah sakit,” kata Jebul.
Ia berharap, ke depan pemerintah lebih aktif mendorong masyarakat hidup sehat sejak dini. Kenapa? Karena kalau masyarakat lebih sehat, negara bisa hemat biaya pengobatan dan kualitas SDM pun meningkat. Visi yang keren dan sangat relevan buat generasi muda yang makin peduli pada gaya hidup aktif dan well-being.
Jadi, pesan dari Muhammadiyah kali ini jelas banget: kualitas akademik bukan buat diperjualbelikan. Gelar profesor harus jadi simbol kompetensi, bukan hadiah atau popularitas. Buat kamu yang masih kuliah atau bakal lanjut studi, ini jadi pengingat bahwa dunia akademik itu tempat serius, bukan panggung formalitas.
Social Footer